“Pahitnya secangkir
kopi yang mendefinisikan pahitnya jalan kehidupan.”
PENK/DIBAWAH GUGUSAN BINTANG/07012015-01:11
2 Juli 2014.
Adalah hari dimana aku minum secangkir kopi yang kurasa “pahit”nya
sangat sulit untuk dilupakan seketika.
Secangkir kopi yang kubeli di pinggir jalan.
Diantara hilir-mudik kilatan lampu kendaraan yang sedang
lalu-lalang di malam itu.
Di sebuah tenda kaki lima, buatan seorang ibu-ibu setengah
baya.
Panas. Hitam. Pekat. Tampak seperti cangkir-cangkir biasanya.
Saat itu aku berharap agar tidak tenggelam ditengah malam.
Berharap hidup oleh secangkir kopi dalam keadaan seperti
mati.
Sebuah keadaan yang sangat sulit untuk aku visualisasikan
dalam kata-kata.
Aku pandang seraut wajah kusut seolah tak bernyawa pada
pantulan air hitam dalam cangkir itu.
Tak ada senyum. Tanpa kata. Berharap Tuhan memberikan
pelukan kepadanya.
Sangat terasa saat waktu menusuk dan menyayat memberikan
luka begitu dalam.
Dimana otak dan perasaan ini seperti bercampur aduk tanpa
tahu arah.
Namun keadaan itu mau tidak mau harus aku lalui.
Meski tak kuasa air
mata menetes tanpa bisa menyembunyikan keberanianku selama ini.
Terlihat puluhan orang masih berlalu-lalang di depan UGD
itu.
Aku mencoba menghidupkan raga ini dengan menuangkan
secangkir kopi panas itu pada sebuah ‘lepek’.
Terlihat butiran-butiran ampasnya tersorot lampu jalanan.
Aku minum pelan-pelan sambil mencoba menenangkan diri.
Tak berasa. Tidak seperti biasanya. Kopi ini seperti hambar
di lidahku yang sudah mati rasa.
Kutuang lagi untuk yang kedua kalinya.
Sambil aku menghidupkan sebatang rokok.
Aku minum pelan-pelan.
Masih juga terasa hambar di lidahku.
Aku ingin berlari menuju taman di tengah jalan itu.
Ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya saat itu.
Dengan harapan bisa mengumpulkan dan menyatukan kembali serpihan semangat hidup yang sudah berserakan
dimana-mana.
Namun rupanya Tuhan menahan aku untuk melakukan itu.
Saat ponselku berdering dan kutekan tombol bicara, suara di
ujung saluran telepon genggam di tanganku meminta agar aku segera kembali ke
ruang ICU Pavilyun itu.
Sesegera mungkin aku harus membayar secangkir kopi tersebut.
Meski hambar di lidahku, aku anggap itu adalah secangkir
kopi yang “pahit”nya masih bisa kurasakan hingga sekarang.
***
18 Desember 2014.
Adalah secangkir kopi yang “pahit”nya menyempurnakan ke”pahit”an
dua cangkir sebelumnya.
Secangkir kopi yang juga aku beli di pinggiran jalan.
Di sebuah sudut Kota Malang yang malam baru selesai diguyur
gerimis tipis.
Masih diantara hilir-mudik kilatan lampu kendaraan yang
sedang lalu-lalang di malam itu.
Di sebuah penjaja rokok eceran kaki lima, juga buatan
seorang ibu-ibu setengah baya.
Dan dalam pandangan mata, tetap tampak seperti cangkir-cangkir
biasanya. Panas. Hitam. Pekat.
Saat itu aku berharap agar segera menemukan sebuah solusi
untuk sebuah masalah yang kompleks dalam jalan hidupku.
Berharap keajaiban datang dari langit secara tiba-tiba.
Tidak begitu kusut seperti sebelumnya, saat aku pandang seraut
wajah pada pantulan air hitam dalam cangkir itu.
Namun juga tak ada senyum. Dan masih sama tanpa kata. Berharap
Tuhan memberikan pelukan seperti yang telah ia harapkan sebelum-sebelumnya.
Semakin terasa saat luka-luka yang sudah pernah ada begitu perih
mengoyak batin ini.
Dan waktu masih saja mengharuskan untuk melalui keadaan-keadaan
seperti itu.
Air mata sudah tidak mampu lagi untuk menetes.
Aku rasa sudah mengering karena sudah kutumpahkan
berhari-hari bahkan berminggu-minggu sebelumnya.
Aku mencoba menikmati secangkir kopi panas itu pelan-pelan.
Tidak ada butiran-butiran ampasnya yang terlihat tersorot
lampu jalanan.
Aku rasa Ibu penjualnya mengunakan bubuk kopi yang sangat halus
dan diseduh dengan air yang benar-benar panas dalam keadaan mendidih.
Aku minum pelan-pelan sambil mencoba berpikir tenang.
Begitu hambar di lidahku yang biasanya cukup pandai
mengenali rasa kopi.
Lalu kutuang lagi untuk yang kedua kalinya.
Sambil aku menghidupkan sebatang rokok yang kubeli eceran di
tempat yang sama.
Aku minum pelan-pelan.
Masih saja terasa hambar di lidahku.
Aku bingung saat itu harus kemana lagi untuk mengadu selain
kepada Tuhanku.
Aku ingin bisa berteriak dan menangis sekencang-kencangnya
pula saat itu.
Dengan harapan bisa menjalani hidup yang lebih baik selanjutnya,
sesuai kemampuan terbaikku dalam
berusaha.
Karena sudah tak ada lagi tempat yang layak bagiku untuk
mengadu, meminta pertolongan, bahkan untuk sebuah alasan yang sangat mendesak
dan menekanku.
Maka aku harus melanjutkannya sendiri dengan segala daya,
upaya, dan bagaimana caraku untuk bertahan.
Mengalikan niat dan tekad hingga berlipat dari yang sudah
ada dan telah aku tentukan sebelum-sebelumnya.
Namun rupanya lagi-lagi Tuhan mengharuskan aku untuk segera
melanjutkan langkah.
Sesaat ketika kawan yang sudah cukup lama aku tunggu
terlihat di kejauhan, saat itu pula Tuhan menyuruhku untuk segera menyembunyikan
segalanya dalam sebuah senyuman.
Segera aku membayar secangkir kopi yang telah habis kuminum
beberapa menit yang lalu.
Dan hingga sekarang, aku anggap itu adalah secangkir kopi ketiga
yang “pahit”nya sungguh terasa sempurna mewarnai perjalan hidupku.
***
+/- 46,000,000 detik sebelumnya.
Adalah hari dimana aku membuat sendiri dan meminum secangkir kopi
pertama, yang rasa “pahit”nya sulit hilang hingga hitungan jam, hari, minggu,
bahkan bulan.
*******