meet me on Facebook

Rabu, 16 Desember 2015

Semakin

Semakin kamu cemburu, semakin besar pula rasa cinta kita.
Semakin kamu cemburu, semakin terasa manis rasa pahit yang telah kita lalui.
Semakin kamu cemburu, semakin tidak ada lagi jarak antara kita.
Semakin kamu cemburu, maka tak ada lagi aku dan kamu.
Karena jika semakin kamu cemburu, yang ada hanyalah kita.
Dan semakin kamu cemburu, hidupku setara dengan kopi yang kamu racik untukku.

-kopirabupagikuolehmu-

Jumat, 11 Desember 2015

Uhm.....

Tengah malam sudah lewat. Saat aku pulang kupikir kamu sudah terlelap. Namun aku tak menemukanmu berada di dalam kamar. Sesaat aku menaruh ransel berisi laptop dan semua kertas hasil lemburanku, suaramu merdu sekali terdengar, "Ini diminum dulu kopinya Mas, biar ndak masuk angin."

Kopi 02.42 dini hari bertabur senyum darimu.
***

Rabu, 21 Oktober 2015

Kamu, Kopi, dan Hari-hariku

Setiap hari, setiap pagi.
Senyummu hadir bersama wanginya aroma kopi.
Yang dengan tulus ikhlas kau sajikan.
Untuk bangunkan aku dari lelapnya lelah.

Sederhana.
Namun sesungguhnya itu karunia yang besar hadiah dari-Nya.
Yang pantas aku syukuri.
Yang layak aku perjuangkan.
Hariku yang indah, akan senantiasa diawali olehmu dan secangkir kopi.
Terima kasih.

Jumat, 25 September 2015

Whichever is first, Coffee Morning or a Morning Sex?

Unlike the frantic performance sex that descends after night on the town, morning sex is deliciously unpretentious, relaxing, and slow.
With the dust of sleep still in your eyes, an arching back and a contended and effortless giggle, you toy with your lover. Gathering him or her in, as your ankles and buttocks writhe together under the sheets. Producing a grin on your lover's face before the new light of the day has even touched his or her eyes.
Afterward you join the sun of a Friday morning with a tranquil, satisfied relish. A tray of toasted muffins appears along  with a cup of coffee. It's a more perfect way to start the day.
I have discovered it, and I think it's a good activity with a good reason. Try it...

*disadur dari google*

Minggu, 19 Juli 2015

KOPI & BERCINTA

Hallo, apa kabar Kopikers?
Membaca judulnya, mungkin ada yang bertanya. Apa hubungannya Kopi dan Bercinta?
Bila kita cari di laman google menggunakan key word manfaat kopi, mungkin kita akan menemukan ratusan artikel yang membahas bermacam-macam manfaat dari meminum kopi. Mulai dari sebagai antioksidan, meningkatkan energi, membakar lemak, membuat otak lebih cerdas, melawan depresi, menurunkan resiko terkena diabetes, hingga manfaat agar gairah seksual tetap terjaga. Semua manfaat tersebut dapat kita peroleh, tentunya bila kita meminum kopi dalam jumlah yang wajar dan tidak berlebihan.

Menikmati kopi setiap hari, bukan saja bermanfaat untuk membuat "betah melek". Namun manfaat lain yang bisa diperoleh adalah peningkatan gairah seksual yang dapat ditimbulkan setelah meminum kopi. Berdasarkan sebuah penelitian tentang manfaat kafein bagi manusia (dipublikasikan oleh Dr. Fay Guarraci dari Pharmacology, Biochemistry and Behaviour Journal, di Southwestern University in Georgetown, Texas), bahwasanya kafein dapat merangsang syaraf yang berkaitan dengan kinerja seksual pada tubuh manusia. Cara kerja sederhananya adalah dari secangkir kopi yang diminum, bisa membuat otak terstimulus kemudian membentuk daya rangsangan dalam perilaku seks.

Di dalam secangkir kopi hitam dengan takaran yang sesuai, terkandung senyawa aprosidak yang dapat meningkatkan libido dan gairah untuk bercinta. Hal ini juga diungkapkan oleh Zoya Amirin, M.Psi, Sex Therapist, bahwa kopi hitam murni sangatlah baik
untuk memicu hormon endorfin dalam tubuh manusia, yang fungsinya untuk mengatur hormon pertumbuhan dan seks. Hormon endorfin dapat membuat seseorang merasa senang dan nyaman. Senyawa kimia ini juga dapat membuat seseorang merasa lebih berenergi.
Selain hal tersebut di atas, kafein yang terkandung dalam kopi merupakan mild stimulant yang dapat meningkatkan sex performance apabila dikonsumsi dalam kuantitas yang benar. Masih menurut Zoya, meminum secangkir kopi hitam dengan takaran yang sesuai dan tidak berlebihan setiap hari, merupakan pilihan yang lebih baik daripada minum obat-obatan peningkat gairah seksual. Namun perlu diingat juga Kopikers, hal ini tidak berarti bagi mereka yang mengkonsumsi kopi secara berlebihan (coffeemaniac), karena dapat membuat konsentrasi hilang dan peredaran darah menjadi tidak lancar sehingga mengakibatkan gairah seksual jadi menurun.

So, minum kopi dalam kadar yang wajar setiap hari dapat bermanfaat untuk membuat kehidupan seksual kalian dengan pasangan masing-masing menjadi lebih responsif dan menyenangkan. Jika ingin mencobanya, bolehlah sesekali minum kopi beberapa saat sebelum kalian melakukan aktifitas seksual yang positif bersama pasangan masing-masing.

Finally Kopikers, selalu nikmati  setiap tetes kopi kalian, bercintalah dengan positif dan benar, lakukan secara sehat, serta temukan cerita dibalik secangkir kopi yang kalian minum... :)

***PENK***
dari berbagai sumber

Sabtu, 04 Juli 2015

Secangkir Kopi Hakikat Abadi Cinta

Jika aku bubuk kopi jadilah kamu sebagai gulanya. Atau dibalik boleh juga, sama saja. Sadar kita memang berbeda, namun biarlah cangkir menjadi sebagai wadahnya yang akan kita sebut dengan asmara.
Seduhan air panas ibaratkan saja itu cinta. Kita bangun bersama hingga menjadi secangkir kopi hitam yang jujur dan tulus apa adanya. Biarkan orang lain sebatas tahu dan mengerti bagaimana wangi aromanya. Lantas biarlah Si Tuan Waktu yang menikmatinya perlahan, hingga kita menjadi tua. Kemudian suatu saat nanti kita akan berpisah, ketika ampas telah berubah menjadi maut yang menjemput salah satu dari kita. Hingga tinggallah sebuah cerita dan inspirasi kebaikan yang selalu hadir dan hidup di setiap nadi anak cucu kita.
Maka tibalah saatnya seluruh proses di atas adalah hakikat sederhana dalam membangun keabadian cinta. Bahwa apapun dan bagaimanapun keadaannya, kita tetap menjadi dan disebut sebagai secangkir kopi. Bersatu bersama-sama hingga habis dan tinggal ampas saja...
***

Senin, 22 Juni 2015

Coffee Joke

Suatu hari di sebuah klinik kesehatan di pedalaman sudut Indonesia. Seorang penduduk lokal yang sedang sakit datang untuk memeriksakan kesehatannya. Klinik kecil yang cukup istimewa bagi penduduk setempat ini hanya dihuni oleh seorang dokter pribumi setempat, yang terkenal sangat menyukai kopi sebagai minuman utamanya.
Miki, demikian nama penduduk lokal yang sedang sakit tersebut. Seperti biasa setelah melakukan pemeriksaan medis, dokter di klinik tersebut selalu memberikan obat dan secangkir kopi panas pada pasiennya secara cuma².
Dokter: "Miki, ini obat untuk Ko punya sakit demam. Sebelum Ko pulang dan istirahat, minum dulu ini kopi."
Miki: "Terima kasih, Dokter."
Tak lama kemudian Miki nampak kepanasan saat hendak meminum kopi tersebut.
Miki: "Kopi panas sekali ini Dokter. Aduuuh..." (menggerutu)
Tanpa berpikir panjang Miki langsung membuka obat pemberian dokter untuk sakitnya, lantas ia masukkan 1 tablet kedalam kopi yang hendak diminumnya tadi.
Dokter: "Hei Miki... Ko kasih masuk apa kedalam kopi itu?"
Miki: "Dokter kasih Sa kopi panas sekali. Sa kasih masuk obat penurun panas ke kopi biar dingin."
Dokter: "Ah Ko pu otak su tak kerja. Itu obat untuk diminum Ko pu sakit nanti. Bukan kasih masuk ke dalam kopi."
Miki: "$%&@###:ππ•|©™®[]%%$"

***

Jumat, 19 Juni 2015

Kopi Belanda ft. Kopi Susu (Ramadhan Terbang Tenggelam)

Sahur kedua pada Ramadhan kali ini tidak begitu istimewa. Hanya 3 cangkir Kopi Belanda dan Secangkir Kopi Susu sachet.
Di sela2 sibuknya lemburan mempersiapkan diri untuk mengejar impian di negeri orang. Serta semangat berjuang yang tak pernah pudar.
Meski badai tak kunjung berlalu. Aku masih tetap berjuang untuk mendatangkan pelangi keabadian. Terkadang meski menyamar dibalik tawa dan senyuman. Bahkan dalam penilaian orang lain terkesan meragukan hingga diremehkan.
Tidak mengapa. Aku sadar jalan hidupku harus seperti ini. Nikmati saja keadaan. Karena ini memang sebagian dari karya Sang Maha Asyik pada jalan hidupku.
Kopi Belanda feat Kopi Susu sahur kedua Ramadhan kali ini sungguh lengkap dalam kisah terbang dan tenggelam...

Rabu, 17 Juni 2015

Kopi Kaum Sudra

"Angkringan, warung kopi, cafe, kedai kopi. Sebuah wadah sosial masyarakat untuk bertemu dan saling berkomunikasi. Terkadang tempat tumbuh dan berkembangnya sebuah cinta. Sering juga berfungsi sebagai tempat diskusi bisnis, tugas sekolah, hingga masalah politik dan ekonomi. Bertajuk secangkir kopi yang mengisahkan cerita setiap pribadi yang memesan setiap cangkirnya."

Cerita singkat kali ini...

Baru saja aku pulang dari sebuah kedai kopi di sudut Kota yang dingin ini. Setengah malam aku habiskan untuk membahas sebuah rencana gila bersama sahabat senasibku. Kandungan kafein murni meracuni otak kami hingga lupa waktu. Hahaa, Kopi Kaum Sudra namanya.

Sore tadi BBM mengisyaratkan tanda saatnya merapat. Seperti biasa kita "kopdar" untuk membahas hal2 yang perlu dimusyawarahkan bersama. Pak Jono si pemilik kedai sudah cukup hafal dengan wajah2 kami. Beli secangkir kopi, ngobrolnya hingga hampir dini hari. Maklum, terkadang jika sudah ketemu mufakat, bahasan lain bisa sampai berjam-jam jika sudah mabuk kopi.

Kopi Kaum Sudra. Nama yang asyik kusebut malam ini tadi. Karena kisahnya memang mencerminkan upaya kaum jelata yang mencoba bertahan hidup. Memiliki impian besar untuk menjadi kaum brahmana suatu saat kelak. Meski sekarang masih tertindas, tersisihkan, disepelekan, diremehkan, bahkan dipandang sebelah mata. Namun kami masih berupaya untuk tetap menghadapinya dengan senyuman.

Aroma kopi buatan Pak Jono mulai menginfeksi ide2 kreatif kami. Sudah tak ada lagi tempat mengeluh, maka mau tak mau kami harus segera menemukan solusi. Oleh sebab waktu yang tak mau menunggu lebih lama lagi, maka kami benar2 memeras hingga kering mencari sisa2 inspirasi di labirin tergelap otak yang kami miliki.

Setengah cangkir pun berlalu. Kami masih menyandang gelar kaum sudra yang tersisihkan oleh keadaan. Berharap mukjizat segera datang sebagai hadiah dari Illahi. Tiba2 tercetus ide yang hampir tidak mungkin untuk kami lakukan dalam keadaan seperti saat ini. Namun mustahil bukan kata yang kami kenal dalam kamus hidup yang kami miliki. Saatnya mencoba.

Setelah sederetan rencana tersusun serapi mungkin, mufakat datang bersamaan dengan ampas kopi yang mulai menghiasi gigi. Pak Jono pun sudah terbang ditelan sarung melewati batas mimpi. Saatnya pulang membawa rencana untuk diproses esok pagi. Dan Kopi Kaum Sudra malam ini menghasilkan sebuah solusi...

***

Minggu, 14 Juni 2015

Cangkir Baru

Secangkir kopi kuseduh pagi tadi. Dengan takaran yang sama, racikan sederhana antara putihnya gula pasir dan hitamnya butiran bubuk kopi. Jujur dan apa adanya. Tanpa perlu menutupi kisah hidup yang sebenarnya. Pekatnya terasa, diantara butiran ampas yang mengambang terdapat semangat2 baru untuk menggapai kesempurnaan hidup. Lupakan pahitnya, nikmati manis aromanya dalam cangkir baru yang terlihat sederhana.
Pagi ini udara hangat tercipta oleh cantiknya mentari yang bersinar. Membuat otak ini cerah dan berseri kembali. Indah cahaya yang terpendar, membiaskan sinar diantara ampas2 yang mengambang. Menginspirasi ide tergila dalam hidupku. Saat kupandang cangkir baru itu seolah ia berkata, "Kejar impianmu, takut bukanlah halangan besar bagimu. Namun tetap ingatlah, kendalikan ambisimu. Tujuan yang baik tanamkan dalam hatimu." ...
Sejenak nyawa ini seperti melayang pergi jauh sekali. Terasa diriku mengambang terbang melayang bersama aroma kopi pagi. Jauh dan jauh sekali terasa. Sesaat ia kembali, segalanya menjadi terang benderang. Bersamaan mata memandang luasnya langit biru yang mempesona.
Tuhan, aku belum tahu maksut pesan yang Kau kirim lewat cangkir baru ini. Yang kumengerti hanya sebuah ide gila yang akan aku kejar. Untuk membuat impianku menjadi nyata. Aku akan pergi kesana. Tanpa beban, tanpa meninggalkan harapan.
Bismillah, semoga segera menjadi nyata..

Sabtu, 09 Mei 2015

Secangkir Penyamaran


"Jujur, kopiku lebih nikmat daripada omongan setinggi langitmu."

Dapet kenalan baru di kedai kopi. Tampang2 anak gunung yang lagi ngetrend akhir2 ini. Sebut saja Jono.  Anak kuliahan asal Jember. Diantara perbincangan yg akrab sekali si Jono cerita pengalaman2 naik gunungnya. Sambil ngliatin ratusan foto selfienya di layar ukuran 4" gadget miliknya. Seperti biasa, menjadi pendengar yang budiman adalah pekerjaan yang paling baik untuk kulakukan. Pasang telinga baik2, tampang serius santai sambil nyesep rokok, sesekali harus nyruput kopi untuk meredakan ketegangan.
Sekian lama berkisah dan mendongeng, si Jono mulai memberi kesempatan pada yang lain untuk bicara. Terkesan mengumpan pertanyaan dan jawabanpun mulai terucap oleh manusia2 lain di sekitarnya. Satu persatu mulai berkisah pengalaman masing2. Hingga akhirnya diamku harus tergugah karena lemparan pertanyaan...

Jono : "Kalo Mas udah kmn aja?"
Aku : "Oh, aku blm prnh kmn2 Mas. Cuma pgn nyobain ke Semeru kalo ada waktu santai."
Jono : "Wah rame Mas sekarang, kmrn aku br dr sana."
Aku : "Oh gitu ya Mas?"
Jono : "Tp gk pa2 sih kalo mau kesana. Bagus Mas tempatnya. Tracknya jg menantang. Gk rugi deh kalo kesana. Hehee." (sambil ngliatin foto2nya di puncak mahameru). "Apalagi disini Mas (foto ranukumbolo) bikin adem kyk di surga."
Aku : "Wuaah, bagus bgt tempatnya Mas." (sambil nyecep rokok dalem2).
Jono dan yg lain menimpali : "Beneran Mas, indah banget."
Jono : "Gpp walopun rame Mas, bs bnyk kenalan, bnyk ceweknya jg lho. Anak gunung manis2 lho Mas. Hehe."
Aku : "Wah, pasti bnyk pengalaman ya Mas? Udah pernah kemana2. Pasti asik tuh?"
Jono : "Yah lumayan Mas. Masnya jg perlu nyobain Mas. Indonesia tuh luas lho Mas. Bnyk surga2 tersembunyinya. Rugi kalo msh muda gk berpetualang."
Aku : "Wah, bener jg tuh Mas. Masnya udh lama ya traveling kyk gini?".
Jono : "Lumayan sih Mas, mulai 2011an lah. Hehe."
Aku : "Wah, lumayan lama tuh. Pasti udh bnyk pengalaman petualangannya? Menginspirasi banget Mas."
Jono : "Ah, biasa aja kali Mas. Hehe."
...
Obrolan semakin akrab saja, seperti racikan gula dan kopi yang terlarut dalam air panas ketika diaduk. Kental dan pekat sekali aromanya. Sebagai pendengar sepatutnya aku berbangga, bisa mendengarkan dengan baik kisah2 orang lain yang terkadang setinggi langit. Semakin bijak bila sadar bahwa kesombongan bisa saja ditertawakan oleh orang lain. Orang yang lebih banyak makan asam garam jauh sebelumnya, namun terkesan 'nggobloki' pada saat diajak bicara. Hikmah dan kesimpulannya??

..... :-)

Sabtu, 25 April 2015

Cafe Coffee Bean

Cafe Coffee Bean, demikian sekilas terlintas dalam benakku. Impian 2 tahun yang lalu, yang hingga kini belum juga mampu aku mewujudkannya menjadi nyata. Sebuah kedai kopi kecil, sederhana bernuansa vintage. Di sudut jalan, di keramaian kota kecil ini.
Tidak terlalu tinggi sih impianku sebelumnya. Mengelola kedai kopi milik sendiri. Menyediakan sedikit tempat yang nyaman untuk anak2 muda nongkrong dan berbagi (seperti yang biasa kulakukan dulu). Dengan berbagai macam suguhan kopi yang enak racikan tanganku sendiri.
Mungkin senang dan bangga akan terasa menjadi satu bila impian itu nyata terwujud. Setiap hari teman2 lama dan baru akan datang berkunjung silih berganti. Berbagi cerita dan pengalaman masing2 meski hanya meramaikan suasana kedai kopi sederhanaku. Aku yakin meski kecil lama2 akan terus berkembang menyempurnakan metamorfosisnya seiring waktu. Sebuah kedai kopi sederhana yang kunamai Cafe Coffee Bean.
...
Berawal dari kegemaranku sejak duduk di bangku sekolah menengah atas dulu. Saat hang out bareng kawan sekolah sekedar kumpul di warung kopi trotoar jalan veteran. Dari obrolan ringan bertemakan kebersamaan, hingga terus berkembang menjadi ajang perbincangan serius sampai lulus SMA. Secara tak sadar aku terjangkit penyakit non-medis yang bernama coffee addict.
Waktu terus berlalu. Pada pengambilan program D3 aku lebih sering pulang larut malam. Setiap petang hingga tengah malam lebih sering kuhabiskan untuk menikmati kopi. Entah di warung kecil, cafe, pinggir jalan, teras rumah teman, depan tenda saat bermalam di hutan, hingga luar kota ketika touring klub motor tuaku. Sejuta inspirasi hadir dalam secangkir kopiku. Ratusan ide dan karya terwujud dari otakku yang telah teracuni kafein.
Hari terus berputar. Waktu dan keadaan memaksaku berhenti untuk nongkro di kedai kopi setiap malam. Pekerjaan dengan sistem shift yang menyita waktu luangku. Namun hal itu tidak menghapus kegemaranku akan secangkir kopi. Malah semakin menjadi-jadi rasanya. Sehari tanpa kopi, bagai mayat hidup rindu mati. Kurang dan lebihnya setahun aku melalui itu.
2010 usiaku menginjak angka 24. Saat itu aku sudah tidak menggeluti pekerjaan dengan sistem shift. Aku melanjutkan studyku. Mencoba meraih gelar S1 di salah satu universitas termama di kota kelahiranku. Teman baru, adaptasi lingkungan baru. Sekian waktu berjalan, hidup kembali kegemaran lamaku. NGOPI. Tidak banyak sih awalnya teman yang serasi dengan karakter hobi minum kopiku. Lama kelamaan bermunculan juga manusia2 penikmat kopi dan suka nongkrong seperti tampangku saat itu. Salah satunya teman wanita sekelasku yang pada akhirnya hatiku terpautkan pada pesonanya 2 tahun perjalanan melalui masa kuliahku. Asik, keren, semakin berwarna pokoknya hidupku pada masa itu. NGOPI.
...
Hari2 indah bermunculan dari setiap secangkir kopiku. Selalu ada cerita baru yang terselip dalam setiap cangkirnya. Manis dan pahitnya cerita setara seirama racikan minuman pokokju setelah air putih. Secangkir Kopi. Hingga pada suatu hari aku pernah memiliki keinginan membuka sebuah kedai kopi. Keinginan yang sempat kuutarakan kepadanya lewat sebuah sms kepadanya diwaktu senja di kala itu. Lantas kata mengaminkan terucap dalam balasan smsnya yang menancapkan harapan dan keyakinan dalam hatiku untuk mewujudkannya suatu saat.
Kini harapan untuk mewujudkan semua itu masih kusimpan rapi dalam ruang otakku. Menunggu Tuhan memberikan waktu yang tepat untuk memberikan sentuhan keajaiban-Nya kepadaku. Serta menyempurnakan kebahagiaanku akan kehadiranmu pujaan hatiku, untuk mau berjalan bersama denganku. Memiliki, mengelola, hingga menikmati sendiri suguhan dari sebuah kedai kopi sederhana impianku. Kedai kopi yang bernama Cafe Coffee Bean...

Kamis, 19 Februari 2015

"Seperti secangkir kopi yang telah tumpah, tak bisa dinikmati lagi, namun aku masih bisa membuat secangkir lagi dengan takaran yang sama."

PENK/CREATIVEROOM/19022015-08:30
Titik jatuh terendah, tenggelam terdalam, tetap berusaha kembali bangkit meski perlahan.


Hampir 2 tahun badai datang silih berganti. Mengeringkan air mata, bahkan menumpahkan banyak darah. Cerah hanya sesekali datang menghampiri. Tak bertahan lama, seperti harapan yang tiba-tiba sirna entah apa sebabnya.
Jika mereka menjadi aku, mungkin sudah benar-benar gila dan berkeliaran di jalan tanpa busana. Tidak masuk di akal memang (bagi mereka), namun ini benar-benar nyata. Puluhan kali impian yang selangkah lagi menjadi nyata, tiba-tiba gagal begitu saja. Sebagai manusia normal pasti kita akan berpikir dan mencari tahu apa penyebabnya. Tak bisa diraba, tak bisa ditembus, apalagi dengan mengandalkan logika.
Berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri, apakah salah semua usahaku? Mengapa setiap benih tanaman kebaikan yang sehat bertumbuh dan mengembang selalu rusak dan bahkan mati saat waktunya berbuah? Tidak kunjung aku menemukan jawabnya.
Hampir setiap detik lewat tengah malam akupun bertanya kepada Tuhan. Selebihnya air mata yang menambah warna hingga hampir penghujung pagi. Sejauh ini aku tidak putus asa dan tidak berhenti berusaha. Tetap melangkah dengan segenggam keyakinan.

Waktu terus berjalan dan berlalu. Meski nafas sudah terasa sesak, aku masih terus berusaha untuk tetap hidup. Hingga beberapa hari yang lalu aku menemukan jawaban atas semua pertanyaanku. Tidak masuk di akal orang sehat, tidak cocok juga di jaman modern seperti ini, tapi ini sudah tidak asing lagi bagiku. Semua tanaman yang rusak begitu saja ternyata bukan kehendak murni Sang Kuasa. Campir tangan makhluk usil ikut berperanan di dalamnya. Asik, hidup ini sungguh asik. Aku tidak mampu untuk marah, namun semakin mempertebal tekadku hingga berlipat-lipat atas keyakinan pada Sang Maha Besar. Terlintas kata bijak begitu saja di benakku, "Seperti secangkir kopi yang telah tumpah, tak bisa dinikmati lagi, namun aku masih bisa membuat secangkir lagi dengan takaran yang sama.".

Aku masih akan terus berjalan.....

Rabu, 07 Januari 2015

“PAHIT”NYA SECANGKIR KOPI



“Pahitnya secangkir kopi yang mendefinisikan pahitnya jalan kehidupan.”
PENK/DIBAWAH GUGUSAN BINTANG/07012015-01:11

2 Juli 2014.
Adalah hari dimana aku minum secangkir kopi yang kurasa “pahit”nya sangat sulit untuk dilupakan seketika.
Secangkir kopi yang kubeli di pinggir jalan.
Diantara hilir-mudik kilatan lampu kendaraan yang sedang lalu-lalang di malam itu.
Di sebuah tenda kaki lima, buatan seorang ibu-ibu setengah baya.
Panas. Hitam. Pekat. Tampak seperti cangkir-cangkir biasanya.
Saat itu aku berharap agar tidak tenggelam ditengah malam.
Berharap hidup oleh secangkir kopi dalam keadaan seperti mati.
Sebuah keadaan yang sangat sulit untuk aku visualisasikan dalam kata-kata.
Aku pandang seraut wajah kusut seolah tak bernyawa pada pantulan air hitam dalam cangkir itu.
Tak ada senyum. Tanpa kata. Berharap Tuhan memberikan pelukan kepadanya.
Sangat terasa saat waktu menusuk dan menyayat memberikan luka begitu dalam.
Dimana otak dan perasaan ini seperti bercampur aduk tanpa tahu arah.
Namun keadaan itu mau tidak mau harus aku lalui.
Meski  tak kuasa air mata menetes tanpa bisa menyembunyikan keberanianku selama ini.

Terlihat puluhan orang masih berlalu-lalang di depan UGD itu.
Aku mencoba menghidupkan raga ini dengan menuangkan secangkir kopi panas itu pada sebuah ‘lepek’.
Terlihat butiran-butiran ampasnya tersorot lampu jalanan.
Aku minum pelan-pelan sambil mencoba menenangkan diri.
Tak berasa. Tidak seperti biasanya. Kopi ini seperti hambar di lidahku yang sudah mati rasa.
Kutuang lagi untuk yang kedua kalinya.
Sambil aku menghidupkan sebatang rokok.
Aku minum pelan-pelan.
Masih juga terasa hambar di lidahku.
Aku ingin berlari menuju taman di tengah jalan itu.
Ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya saat itu.
Dengan harapan bisa mengumpulkan dan menyatukan kembali  serpihan semangat hidup yang sudah berserakan dimana-mana.
Namun rupanya Tuhan menahan aku untuk melakukan itu.
Saat ponselku berdering dan kutekan tombol bicara, suara di ujung saluran telepon genggam di tanganku meminta agar aku segera kembali ke ruang ICU Pavilyun itu.
Sesegera mungkin aku harus membayar secangkir kopi tersebut.
Meski hambar di lidahku, aku anggap itu adalah secangkir kopi yang “pahit”nya masih bisa kurasakan hingga sekarang.
***

18 Desember 2014.
Adalah secangkir kopi yang “pahit”nya menyempurnakan ke”pahit”an dua cangkir sebelumnya.
Secangkir kopi yang juga aku beli di pinggiran jalan.
Di sebuah sudut Kota Malang yang malam baru selesai diguyur gerimis tipis.
Masih diantara hilir-mudik kilatan lampu kendaraan yang sedang lalu-lalang di malam itu.
Di sebuah penjaja rokok eceran kaki lima, juga buatan seorang ibu-ibu setengah baya.
Dan dalam pandangan mata, tetap tampak seperti cangkir-cangkir biasanya. Panas. Hitam. Pekat.
Saat itu aku berharap agar segera menemukan sebuah solusi untuk sebuah masalah yang kompleks dalam jalan hidupku.
Berharap keajaiban datang dari langit secara tiba-tiba.
Tidak begitu kusut seperti sebelumnya, saat aku pandang seraut wajah pada pantulan air hitam dalam cangkir itu.
Namun juga tak ada senyum. Dan masih sama tanpa kata. Berharap Tuhan memberikan pelukan seperti yang telah ia harapkan sebelum-sebelumnya.
Semakin terasa saat luka-luka yang sudah pernah ada begitu perih mengoyak batin ini.
Dan waktu masih saja mengharuskan untuk melalui keadaan-keadaan seperti  itu.
Air mata sudah tidak mampu lagi untuk menetes.
Aku rasa sudah mengering karena sudah kutumpahkan berhari-hari bahkan berminggu-minggu sebelumnya.

Aku mencoba menikmati secangkir kopi panas itu pelan-pelan.
Tidak ada butiran-butiran ampasnya yang terlihat tersorot lampu jalanan.
Aku rasa Ibu penjualnya mengunakan bubuk kopi yang sangat halus dan diseduh dengan air yang benar-benar panas dalam keadaan mendidih.
Aku minum pelan-pelan sambil mencoba berpikir tenang.
Begitu hambar di lidahku yang biasanya cukup pandai mengenali rasa kopi.
Lalu kutuang lagi untuk yang kedua kalinya.
Sambil aku menghidupkan sebatang rokok yang kubeli eceran di tempat yang sama.
Aku minum pelan-pelan.
Masih saja terasa hambar di lidahku.
Aku bingung saat itu harus kemana lagi untuk mengadu selain kepada Tuhanku.
Aku ingin bisa berteriak dan menangis sekencang-kencangnya pula saat itu.
Dengan harapan bisa menjalani hidup yang lebih baik selanjutnya,  sesuai kemampuan terbaikku dalam berusaha.
Karena sudah tak ada lagi tempat yang layak bagiku untuk mengadu, meminta pertolongan, bahkan untuk sebuah alasan yang sangat mendesak dan menekanku.
Maka aku harus melanjutkannya sendiri dengan segala daya, upaya, dan bagaimana caraku untuk bertahan.
Mengalikan niat dan tekad hingga berlipat dari yang sudah ada dan telah aku tentukan sebelum-sebelumnya.
Namun rupanya lagi-lagi Tuhan mengharuskan aku untuk segera melanjutkan langkah.
Sesaat ketika kawan yang sudah cukup lama aku tunggu terlihat di kejauhan, saat itu pula Tuhan menyuruhku untuk segera menyembunyikan segalanya dalam sebuah senyuman.
Segera aku membayar secangkir kopi yang telah habis kuminum beberapa menit yang lalu.
Dan hingga sekarang, aku anggap itu adalah secangkir kopi ketiga yang “pahit”nya sungguh terasa sempurna mewarnai perjalan hidupku.
***

+/- 46,000,000 detik sebelumnya.
Adalah hari dimana aku membuat sendiri dan meminum secangkir kopi pertama, yang rasa “pahit”nya sulit hilang hingga hitungan jam, hari, minggu, bahkan bulan.

*******