meet me on Facebook

Minggu, 10 Juli 2016

Cangkir Belimbing

"Mbah Unthil", itulah sapaan akrabnya. Yang berarti anak terakhir yang paling muda diantara saudara2 sekandungnya. Pagi buta itu perempuan yang sudah berusia sangat senja sudah bangun dengan energi dalam semangatnya.

Sekejap aku terbangun oleh suara cangkir yang bersenggolan dengan sendok. Begitu merdu menusuk telinga, mengusik keasikanku saat mengembara dalam buaian mimpi. Sapa halus dan senyuman hangat Mbah Unthil segera memanggil setengah nyawaku masih belum kembali.

"Isih peteng lho ngger, kok wes tangi?" ("Masih gelap lho nak, kok sudah bangun?"), sapanya kepadaku sambil menyuguhkan secangkir kopi. Aku hanya tersenyum menatap wajahnya, sembari ia membalas dengan senyuman: "Iki wes tak gawekne kopi ngger, ndang di-ombe. Aku tak nutukne adhang sego." ("Ini aku buatkan kopi, segera diminum. Aku mau melanjutkan menanak nasi."), lanjutnya.



Istimewa sekali pagiku, secangkir kopi murni dalam cangkir belimbing. Kopi asli dari kebun belakang rumahnya, asli racikannya, asli sentuhan tangannya. Segera aku duduk menemaninya memasak di depan pawonan (kompor tradisional yang memakai kayu bakar) sambil menikmati kopi buatannya. Sumpah, ini adalah moment istimewa yang belum tentu aku temui dalam satu tahun. Menikmati harumnya aroma kopi murni dengan bau khas kayu bakar di depan pawonan Mbah Unthil. Luar biasa... :)

Gelap masih memeluk langit desa ini. Namun hidupku terasa lebih terang oleh aktifitas Mbah Unthil pagi itu. Sejenak aku berpikir dalam benak, mungkin seluruh mata uang di dunia ini tidak akan akan cukup untuk membayar moment seperti ini. Moment yang sangat istimewa, kesempatan langka yang diberikan Sang Maha Asik kepadaku. Terima kasih Tuhan, doaku agar Mbah Unthil senantiasa sehat dan panjang umur selalu. Amin yaa Rabb......

***

Kabupaten Malang, 08072016/05:55
Vendra Septianto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar