meet me on Facebook

Senin, 18 Juli 2016

Ide dan Kopi, Pekerjaan dan Seni, Otak Ini Tak Juga Bereaksi

"Menulis, tak tahu apa yang harus kutulis. Mengeja saja lidah ini kelu, apalagi mengkonsep ide kreatif menjadi file presentasi buat rapat besok. Aaaaaah, pusing...!!!"

Secangkir kopi sudah hampir habis.
Bersamaan dengan imajinasi yang semakin terkikis.
Malam ini aku sangat memerlukan ide liar.
Berkaitan dengan terobosan inovasi teknologi dan sistem informasi sedang kami kejar.

"Sistem cerdas yang berdayaguna untuk masyarakat.", kata temanku beberapa hari yang lalu.
Apa ya??? Berhari-hari aku bergumam sendiri dan menggerutu.
Memaksa otak bekerja melebihi waktu.
Mencari-cari disela ampas kopi tentang ide gila yang sedang kami tuju.

***

Ahaa.....
Akhirnya Tuhan memberi ilham diantara cangkir kesembilan belas.
Konsep pengembangan teknologi pertanian dan perikanan berbasis sistem cerdas.
"Aquaponics with Smartphone System Control"


Konsep kerjanya sih udah ketemu di cangkir kesembilan belas sore tadi.
Tapi untuk menuangkan dalam file presentasi, sampai cangkir kedua puluh tiga otak masih belum bereaksi.
Entahlah...
Yang penting digambar saja biar besok masih tetap ingat.
Setidaknya dua puluh tiga cangkir kopi sudah tertuang dalam beberapa lembar coretan HVS 70gr yang masih hangat.

***

Minggu, 10 Juli 2016

Cangkir Belimbing

"Mbah Unthil", itulah sapaan akrabnya. Yang berarti anak terakhir yang paling muda diantara saudara2 sekandungnya. Pagi buta itu perempuan yang sudah berusia sangat senja sudah bangun dengan energi dalam semangatnya.

Sekejap aku terbangun oleh suara cangkir yang bersenggolan dengan sendok. Begitu merdu menusuk telinga, mengusik keasikanku saat mengembara dalam buaian mimpi. Sapa halus dan senyuman hangat Mbah Unthil segera memanggil setengah nyawaku masih belum kembali.

"Isih peteng lho ngger, kok wes tangi?" ("Masih gelap lho nak, kok sudah bangun?"), sapanya kepadaku sambil menyuguhkan secangkir kopi. Aku hanya tersenyum menatap wajahnya, sembari ia membalas dengan senyuman: "Iki wes tak gawekne kopi ngger, ndang di-ombe. Aku tak nutukne adhang sego." ("Ini aku buatkan kopi, segera diminum. Aku mau melanjutkan menanak nasi."), lanjutnya.



Istimewa sekali pagiku, secangkir kopi murni dalam cangkir belimbing. Kopi asli dari kebun belakang rumahnya, asli racikannya, asli sentuhan tangannya. Segera aku duduk menemaninya memasak di depan pawonan (kompor tradisional yang memakai kayu bakar) sambil menikmati kopi buatannya. Sumpah, ini adalah moment istimewa yang belum tentu aku temui dalam satu tahun. Menikmati harumnya aroma kopi murni dengan bau khas kayu bakar di depan pawonan Mbah Unthil. Luar biasa... :)

Gelap masih memeluk langit desa ini. Namun hidupku terasa lebih terang oleh aktifitas Mbah Unthil pagi itu. Sejenak aku berpikir dalam benak, mungkin seluruh mata uang di dunia ini tidak akan akan cukup untuk membayar moment seperti ini. Moment yang sangat istimewa, kesempatan langka yang diberikan Sang Maha Asik kepadaku. Terima kasih Tuhan, doaku agar Mbah Unthil senantiasa sehat dan panjang umur selalu. Amin yaa Rabb......

***

Kabupaten Malang, 08072016/05:55
Vendra Septianto