Tangan ini tergerak untuk sekedar mengabadikan moment sekejap yang terjadi saat senja kemarin.
Di dalam bilik kecil, di tempat kami berkumpul dalam produktifitas kerja menghasilkan setiap karya.
Seorang kawan yang sudah lama sekali tak bersua berkunjung untuk sekedar berbagi cerita.
Seperti biasa, sambutan hangat secangkir kopi dan sapaan dinding kantor yang bertuliskan 'Welkom op het hoofdkwartier van de Enigma' akan selalu menerima dengan baik setiap orang yang datang disini.
*
Kawan lama.
Ya, hampir 11 tahun kami tidak bercengkrama begitu akrab seperti dulu.
Hanya sekedar berbagi kabar selama ini.
Dan saling tahu sebatas cerita dari mulut-ke mulut tentang perjalanan kami masing-masing.
Sekian menit berselang, obrolan kami begitu cepat mencair melebur bersama pekatnya kopi hitam khas kantor ini.
Masih persis seperti 11 tahun yang lalu. Begitu akrab, saling terbuka, dan saling berbagi.
Dari obrolan yang bersifat umum kini mulai menyempit menjadi problematika pribadi.
Ada sedikit yang berubah dari kawan lama ini.
Sebegitu kusut wajahnya ketika menumpahkan cerita tentang perjalanan hidupnya akhir-akhir ini.
Tentang pekerjaan, rumah tangga, sosial, dan banyak lagi.
Seolah hanya dirinya yang benar-benar hidup dibawah tekanan di dunia ini.
Karena hanya keluh kesah sejauh ini yang kutangkap.
Mengabaikan dan melupakan pencapaian baik yang mungkin pernah ia dapat dan rasakan.
Dari sepengetahuanku, menurutku dia lebih dulu sukses dalam berkarya.
Sangat jauh, teramat jauh berada dalam puluhan langkah di depanku saat itu.
Sebab saat itu aku masih berada pada masa transisi.
Masa dimana aku masih belajar untuk mencecap pahit dan getirnya makna hidup.
Bahkan masih berenang, mandi, hingga terkadang tenggelam dalam kubangan lumpur hanya untuk mencari hakikat kata belajar.
Mungkin dia tahu proses hidupku kala itu, mungkin juga tidak.
Namun bukan itu masalahnya.
Penilaiannya dari sudut pandang yang sempit terhadap keberadaanku sekarang.
Tentang proses perjalanan hidupku yang disimpulkan secara enteng yang membuat aku ingin mengabadikan moment ini.
Tentang sebuah penilaian dari satu sudut pandang sempit yang bagiku berujung seperti sebuah penghakiman sepihak terhadapku.
Bagiku 11 tahun bukan waktu yang singkat untuk kata belajar.
Untukku 11 tahun bila dikalikan dengan secangkir kopi yang telah aku minum bisa jadi ribuan bahkan puluhan ribu cangkir.
Bila saja secangkir itu memiliki makna dan cerita, sudah berapa banyak prosa yang bisa aku tulis.
11 tahun itu menurutku bukanlah waktu yang telah aku sia-siakan begitu saja tanpa makna.
11 tahun adalah waktu yang begitu panjang untuk aku mengejar ketertinggalan.
Siapa bilang 11 tahun itu enak bagiku?
Aku bukan termasuk orang yang suka untuk dibandingkan dengan orang lain.
Karena menurutku setiap manusia itu memiliki karakter yang berbeda-beda.
Memiliki proses belajar dalam perjalanan hidup yang beragam pula.
Mungkin dulu aku akan begitu frontal menolak penilaian orang lain yang tak sepandang denganku.
Namun sekarang sudah jauh berbeda.
Saat aku lebih memilih untuk menerima, memilah, dan mengolah pandangan mereka.
Memahami dan memposisikan diri karena aku sadar masih tetap harus belajar.
Dengan pertimbangan alasan yang menurutku adalah yang terbaik.
Karena disitulah kehidupan akan terus berjalan menjadi lebih baik.
*
Dari sekian lebar perbincangan kami aku lebih banyak sebagai pendengar.
Sebagai tempat sampah keluhan-keluhan yang tak pernah aku jalani sendiri.
Sebagai sasaran pembanding hidup baginya.
Hingga kopi hampir tertinggal ampas, aku cukup berkata singkat saja dengan kuselipkan sebuah pesan.
"Hidup itu adalah sebuah pilihan kawan. Akan selalu ada resiko dan konsekwensi di setiap tujuan yang kamu pilih. Jika tidak berani menanggung resiko dan konsekwensi atas sebuah tujuan yang telah kamu pilih, menurutku tak usah hidup berlama-lama di dunia ini daripada dianggap plin-plan oleh Penciptamu. Belajarlah."
*
Senja kian lenyap ditelan malam.
Ketegangan sudah mulai luntur dengan mengingat guyonan-guyonan tentang masa lalu.
Suasana keakraban telah mencair kembali menggantikan secangkir kopi yang sudah tinggal ampas.
Dan bagiku, Enigma bukanlah tujuan akhir dari pilihan hidup yang telah aku tentukan.
Namun adalah salah satu pijakan langkah untuk terus menjalani hidup dalam proses belajar.
*****
PENK
Workshop Enigma Engineering
November 2016